Tantangan Fintech Syariah di Indonesia
Tantangan fintech syariah bukan hanya tugas para Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) saja, namun kita sebagai warga negara juga wajib mengawasi program-program investasi digital yang ditawarkan. Fintech atau financial technology, bisa diterapkan pada ekonomi syariah, asal tidak melanggar ketentuan keuangan syariah, seperti, tidak mengandung bunga, riba, dan manipulasi. Di Indonesia sendiri fintech sudah banyak yang merintis, namun hanya beberapa yang sudah tercatat di Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. untuk hal keuangan kita tidak bisa asal berinvestasi. Keamanan dalam bertransaksi adalah hal utama yang harus dipertimbangkan. Fakta bahwa masih banyak fintech yang belum disahkan oleh OJK merupakan salah satu tantangan untuk keberhasilan bisnis fintech kedepannya.
Perbedaan Fintech Syariah dengan Fintech Konvensional
Perbedaan fintech syariah dengan fintech konvensional terletak pada dasar-dasar yang dianut. Fintech syariah menggunakan syariat Islam sebagai dasar layanan keuangan mereka. Untuk menjalani kegiatan usahanya, fintech berbasis syariah harus menaati peraturan yang dikeluarkan oleh OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 26 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan harus menaati Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
Perbedaan mendasar antara fintech syariah dan fintech konvensional adalah hal bunga. Bunga tidak sejalan dengan agama Islam karena mengandung unsur riba. Tidak akan dijumpai kredit dalam pembiayaan fintech berbasis syariah. Pembiayaan akan dilakukan berdasarkan Akad Murabahah, Akad Ijarah Wa Iqtina, dan Akad Musyarakah Mutanaqishah. Ketiga akad tersebut memiliki peraturan yang berbeda-beda dan tidak mengandung bunga lebih.
Akad Murabahah merupakan akad jual beli, dimana penyelenggara fintech menjadi seorang pembeli atas produk yang diinginkan nasabah. Lalu peminjam akan menjual produknya kepada nasabah dengan jumlah keuntungan yang telah disepakati sebelumnya.
Akad Ijarah Wa Iqtina merupakan akad sewa. Sama seperti Akad Murabahah, dimana penyelenggara fintech menjadi pembeli atas barang yang diinginkan nasabah. Kemudian peminjam akan menyewakan barangnya, yang di kemudian hari bisa dibeli oleh nasabah. Barang tersebut ada dalam status sewa dalam kurun waktu tertentu hingga berganti kepemilikan.
Sementara Akad Musyarakah Mutanaqishah merupakan program pembiayaan yang berasal dari penyelenggara fintech dan nasabah. Masing-masing, akan memberikan modal untuk produk tertentu. Nasabah nantinya bisa membeli bagian yang dipunyai oleh penyelenggara fintech, sehingga nasabah memiliki hak penuh atas kepemilikan produk.
Baca juga: Pinjaman Online Fintech Indonesia
Tantangan Fintech Syariah di Indonesia
Fintech merupakan sistem pembiayaan yang termasuk baru di Indonesia. Meskipun sudah banyak startup fintech, namun tidak semua terdaftar di OJK. Permohonan perizinan juga belum matang sehingga memerlukan banyak waktu untuk mengantongi izin. Tantangan fintech syariah tidak hanya datang dari peraturan pemerintah saja, namun ada banyak faktor, diantaranya adalah:
-
Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Rendah
Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas V. M Tarihoran mengatakan bahwa literasi keuangan penting dilakukan karena indeks literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih relatif rendah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan pada tahun 2016, literasi keuangan Indonesia baru mencapai 29,7 persen, sementara inklusi keuangan sebesar 67.8 persen.
Menjadi cakap keuangan adalah hal penting, karena akan melindungi masyarakat itu sendiri dari transaksi-transaksi palsu yang merugikan. Ada dua hal yang perlu dilakukan untuk menjadi cakap keuangan, yaitu meningkatkan keterampilan dan keyakinan masyarakat tentang layanan keuangan dan meningkatkan infrastruktur. Literasi keuangan yang tinggi akan menciptakan kesejahteraan keuangan yang berkelanjutan. -
Syarat dan Infrastruktur yang Kurang Menunjang
Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia, Ronald Wijaya mengatakan bahwa salah satu hambatan yang dihadapi oleh fintech syariah adalah keharusan memiliki Dewan Pengawas Syariah atau DPS di masing-masing perusahaan. Keharusan memiliki dewan pengawas memberatkan beberapa pihak yang ingin mendirikan fintech syariah karena membutuhkan biaya yang besar. Sementara startup pada umumnya belum memiliki modal besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Ronald mendorong pemerintah untuk memfasilitasi perkembangan fintech di Indonesia terutama yang berbasis syariah. Ia menyarankan sebuah alternatif seperti satu orang dewan pengawas untuk beberapa fintech syariah yang belum terdaftar. Hal ini akan membantu mereka mendapat infrastruktur yang sesuai dengan regulasi OJK. hambatan yang dirasakan oleh Ronald juga menyangkut soal perizinan yang lama, dan literasi masyarakat tentang fintech syariah. Sangat disayangkan karena Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim yang tinggi. -
Indonesia Perlu Kebijakan yang Matang
Tantangan fintech syariah selanjutnya adalah tentang kebijakan yang belum mencakup keamanan nasabah. Layanan jasa keuangan mampu meningkatkan kesejahteraan keuangan masyarakat jika dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik tentu memerlukan kebijakan yang matang. Justru karena layanan Peer-to-Peer Lending memiliki potensi yang besar di Indonesia, sangat diperlukan adanya peran regulator yang sehat. Kebijakan yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut syarat pendirian dan operasi fintech, inovasi layanan yang aman bagi nasabah, serta kompetisi antar-fintech yang sehat.
Kebijakan yang matang diperlukan, juga karena penyelenggara layanan keuangan fintech memerlukan keterampilan dan kapasitas dalam mengurangi risiko untuk kepentingan nasabah. Penyelenggara fintech juga harus memastikan keamanan dana publik, keamanan data publik, serta mampu mengatur keuangan masyarakat dengan memberikan bunga yang wajar. Meskipun terhitung baru, pemerintah optimis dengan pertumbuhan fintech-fintech di Indonesia akan memberikan kemakmuran dalam hal keuangan masyarakat.
Peran Fintech Syariah Bagi UMKM
Peran fintech bagi UMKM secara umum adalah memberikan pinjaman modal. Beberapa aspek yang bisa diusahakan oleh fintech untuk UMKM adalah layanan pembayaran digital dan pengaturan keuangan. Peran fintech akan semakin berkembang seiring dengan terjawabnya tantangan fintech syariah di Indonesia. Berikut adalah peran fintech bagi UMKM:
- Pinjaman Modal yang Relatif Mudah
Proses peminjaman modal oleh fintech lebih mudah daripada pengajuan pinjaman modal ke lembaga keuangan konvensional. Pasalnya, fintech hanya perlu melengkapi beberapa dokumen saja dan waktu pencairan yang lebih cepat dari lembaga konvensional. Namun di beberapa lembaga konvensional saat ini sudah tersedia layana secara online yang mempercepat proses peminjaman modal. - Layanan Pembayaran Digital
Proses pembayaran akan lebih mudah dan cepat dengan layanan pembayaran digital. Tanpa harus repot menarik uang di ATM, layanan pembayaran digital seperti DANA dengan tagline Pembayaran dalam Genggaman, mempermudah konsumen membayar produk yang dibeli atau jasa yang dipakai. - Layanan Pengaturan Keuangan
Dari kedua peran fintech yang ditawarkan, layanan pengaturan keuangan adalah yang paling penting. Layanan pengaturan keuangan yang ditawarkan seperti pencatatan pengeluaran, pemantauan kinerja investasi, serta konsultasi keuangan gratis. Untuk UMKM yang baru dirintis, layanan ini jelas membantu untuk pengeluaran dan pemasukan keuangan kedepannya.
Baca juga: 3 Cara Membuat Startup Sederhana
Kesimpulan
Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim yang besar memiliki potensi yang besar pula untuk perkembangan fintech berbasis syariah. Tak lupa bahwa cita-cita Indonesia menjadi International Fintech Hub harus dicapai dengan menuntaskan beberapa tantangan fintech syariah seperti, meningkatkan literasi keuangan masyarakat, menciptakan infrastruktur yang wajar bagi startup-startup di Indonesia, dan membuat kebijakan yang matang demi keamanan transaksi nasabah. Jika tantangan fintech syariah di Indonesia bisa kita jawab, pada akhirnya peran fintech akan meningkat, tidak hanya untuk UMKM namun untuk keuangan nasional kita.